Minggu, 22 Mei 2016

PELANGI DI BUKIT IMPIAN



PELANGI DI BUKIT IMPIAN
            Setangkai mawar dengan pita merah jambu yang menghiasinya.  Sayang, daunnya yang dulu hijau kini telah mengering.  Mahkotanya yang semula berwarna merah, cantik, nan elok, kini telah layu dan berguguran.  Setangkai mawar yang lebih pantas ku lempar ke dalam tong sampah itu, justru membuatku tertarik untuk selalu memandanginya di setiap malam sebelum aku bermimpi panjang.  Setangkai mawar yang telah menjadi bagian dari malam-malamku.  Yang tak kan berbicara apa-apa meski tahu segala rahasiaku.  Yang tak kan bercerita pada siapa-siapa meski lebih sering melihatku menangis daripada tertawa.
            14 Februari yang lalu, untuk pertama kalinya mawar ini jatuh ke tanganku.  Bersama sebungkus coklat yang keesokan paginya meleleh di dalam perut teman-temanku.  Aku ingat.  Malam itu aku justru menertawainya ketika dia memberikan kejutan kecil itu untukku di hari Vallentine.
            Dia bukanlah tipe cowok yang romantis atau suka memberikan kejutan.  Dengan wajah malu-malu dia menyodorkan setangkai mawar yang sudah dihias dengan pita merah jambu, juga sebungkus coklat dengan hiasan pita kecil berwarna merah.  “Met Vallentine, ya...”  Hanya kata itu yang ku dengar darinya.
            Aku tak langsung menerimanya.  Aku hanya memandangi wajahnya yang tersipu malu dan kemerah-merahan, sikapnya yang mulai serba salah.  Dia seperti anak TK yang ketahuan gurunya pipis di celana.  Tak lama kemudian tawaku meledak.  Bagiku ini lucu sekali.  Seumur hidup aku belum pernah melihatnya melakukan adegan seromantis ini.  Tapi dalam hati aku sangat bahagia.  Karena diberi kesempatan untuk melihatnya, bahkan merasakannya sendiri.  Aku terdiam, terenyuh oleh kebesaran hatinya.  Aku memeluknya erat sekali dan berpikir tak akan melepaskannya.  “Sorry...”  Aku menyesali hal bodoh yang baru saja ku lakukan padanya.  Dia mengusap kepalaku dan mengecup keningku dengan lembut.  Lirih aku mendengar suaranya yang begitu menyentuh hatiku.  “Aku sayang banget sama kamu...”
            Aku hanya tersenyum kecil ketika mengingat peristiwa itu.  Sekilas aku melirik ke dalam figura di depanku yang telah terpampang fotonya.  Aku mengambilnya dan mengecup gambarnya dengan lembut.  Sampai tiba-tiba suara ketukan pintu mengejutkanku.  Tok!  Tok!  Tok!
            Aku buru-buru menyimpan foto dan mawar layu itu, dan memasukkannya ke dalam laci meja belajarku.  Ku buka-buka halaman buku yang sejak tadi tergeletak di atas meja belajarku dan berpura-pura sibuk membacanya.
            Suara ketukan terdengar lagi.  Belum sempat aku membuka mulut untuk menyuruh masuk, sudah ku lihat ibuku berdiri di balik pintu yang kemudian masuk menghampiriku dan duduk di atas ranjang tepat dibelakangku.  Aku tak memperhatikannya dan terus berpura-pura sibuk dengan buku-bukuku itu.  Padahal tak satupun kalimat dari isi buku itu yang masuk ke otakku.
            “Ini terakhir kalinya ibu bilang.  Kamu harus putus dengan Restu!”  Kata-kata ibu yang begitu pelan namun menancap di hatiku.  Aku berpura-pura tak mendengarnya dan terus menyibukkan diri dengan kepura-puraanku.
            “Ibu gak mau lihat kamu masih jalan sama Restu lagi.  Ibu juga gak mau masih ngeliat foto dan gambar Restu ada di kamar ini, atau Ibu akan membakarnya.  Kalo sampai Ibu lihat atau denger dari orang lain kamu masih berhubungan dengan Restu, biar Ibu yang  pergi dari rumah ini.  Ibu gak akan mau ngurusin kamu lagi, sekolah kamu, terserah kamu mau apa!  Pokoknya Ibu pengen kamu harus dan harus putus dengan Restu!!  Apa sich keistimewaan Restu?!  Temen cowok kamu kan banyak, cari aja yang lain, tapi jangan Restu!  Ibu gak ngelarang kamu mau temenan sama siapa aja, tapi jangan sampai kamu pacaran sama tetangga sendiri!  Malu Mel, malu!!  Apa kata tetangga yang lain?!  Kita ini bukan hidup di kota besar, yang bisa bebas mau bergaul dengan siapa aja, yang gak peduli mau diomongin gimanapun.  Kemarin waktu ibunya Restu dateng ke rumah, itu sama aja dia udah ngelabrak Ibu sama kamu, Mel.  Dia udah mempermalukan kita!  Apa kamu gak malu jadi bahan omongan tetangga-tetangga?!  Tadi pagi aja Ibu udah pada diomongin!  Tapi kalo emang kamu gak merasa malu, berarti kamu udah bener-bener gak punya rasa malu!!  Dan kamu tega mempermalukan ibu kamu sendiri.  Kalo Ibu jadi kamu, Mel, udah ibu tinggalin cowok kaya si Restu itu.  Seumur hidup baru kali ini Ibu dipermalukan seperti ini.  Pokoknya ini udah terakhir kalinya Ibu bilang.  Kalo kamu gak mau nurutin kata-kata Ibu, kamu gak usah nganggep Ibu sebagai ibu kamu lagi.  Gak apa-apa, biar ibu yang pergi dari rumah ini!!”
            Aku tak mengucap apapun.  Kesulitan ini kadang membuatku ingin berhenti.  Ku tak ingin merasakan pahitnya hidup dan menikmati getirnya perjalanan ini.  Namun hatiku teriris, ketika aku membayangkan harus berpisah darinya, dan menjalani hidup tanpa kehadirannya, tanpa senyumannya, tanpa mendengar suaranya, dan tanpa dia di sisiku.  Hatiku hancur ketika dihadapkan pada dua pilihan yang tak bisa aku pilih.  Antara cinta dan pengabdian.  Dia dan orang tuaku.  Sakit ketika aku dipaksa meninggalkan cintaku.  Aku merasa ada sebagian yang telah hilang dari diriku.  Semangatku, kekuatanku, senyumku, tawaku, dan kebahagiaanku pergi entah kemana.  Sungguh aku hanya membisu karena tak dapat memilih apa-apa.  Tapi dalam hatiku memberontak terhadap perlakuan yang tidak adil ini.  Apa salahku jika aku mencintainya!
            Ku dengar derit langkah kaki ibuku meninggalkan kamarku.  Tanpa melihatnya berlalu, aku tak kuat lagi menahan air mata yang sejak tadi ku pendam.  Ku telungkupkan kepalaku di atas meja dan menangis sejadinya.  Sayang, mawar itu tak melihatnya.
***
            “Lihat karang itu, Mel!  Suatu saat kalo aku jadi musisi, aku pengen buat video klip di atas karang itu.  Pasti seru!  Kalo aku bisa main gitar di atasnya!”  Aku hanya tersenyum.  Tapi aku bangga sekali karena Restu mempunyai cita-cita setinggi itu.  Aku jadi membayangkan, seandainya impian Restu jadi kenyataan.  Di pantai ini, di atas bukit itu, yang dindingnya ditumbuhi rumput hijau dan lebat, aku melihat Restu memainkan gitarnya dan menyanyikan lagu untukku.  Sementara dari sini orang-orang akan berteriak memanggil namanya dan menunggunya selesai bernyanyi untuk meminta tanda tangannya.  Dan di sini aku akan setia berdiri menantinya sampai dia menghampiriku dan memelukku.  Dan orang-orang akan tahu bahwa aku adalah kekasihnya.
            Suara ombak yang memecah di depanku membuyarkan lamunanku.  Ku pandangi ombak yang tak pernah letih dipermainkan angin.  Sementara aku sudah benar-benar letih menghadapi hidup ini.  Baru sekarang aku tahu, bahwa ada larangan untuk mencintai dan pacaran dengan tetangga sendiri.  Entah peraturan siapa itu.  Yang jelas hatiku mengutuk orang-orang yang membuat aturan semacam itu.
            Tak ku pungkiri sejak awal aku jadian dengan Restu, 4 bulan yang lalu, banyak masalah yang harus kami hadapi.  Terutama orang tuaku dan orang tua Restu yang tidak pernah menyetujui hubungan kami, dengan alasan yang gak bermutu, karena kami adalah tetangga.  Aku bahkan pernah pergi dari rumah hanya karena hal ini, tapi akhirnya aku kembali karena orang tuaku.  Bahkan Restu sendiri sudah beberapa kali pergi dari rumahnya, dan ini yang ketiga kalinya. 
            Itu karena sehari yang lalu ibu Restu datang ke rumahku, meminta agar aku segera memutuskan hubungan dengan Restu.  Karena menurut ibunya, gara-gara aku Restu dikeluarkan dari pekerjaannya.  Karena dia sering terlambat masuk kerja, bahkan tak jarang membolos kerja hanya demi menemaniku.Ibu Restu bahkan bilang bahwa selama ini akulah yang selalu mengejar-ngejar Restu.  Seketika itu, ibuku yang mendengar penuturan ibu Restu, memukuliku seperti anak kecil yang bandel karena tidak menuruti nasehat orang tua.  Aku menangis dan mengerang.  Berusaha menguatkan tubuhku agar aku tidak mati saat itu.  Karena aku masih ingin melihat Restu, masih ingin melihatnya menjadi seorang musisi yang sukses dan ternama, dan orang  tuaku akan menyesal telah menolak Restu sebagai calon menantunya.
            Sekali lagi deburan ombak membawaku melupakan kejadian itu.  Dan menikmati betapa tenangnya duduk di samping orang yang kita cintai.
            “Mel, kalo nanti kita udah menikah, bisa gak ya, aku mengukir nama kita di dinding bukit itu?”  Aku menatap bukit impian Restu, yang dindingnya dipenuhi rumput hijau dan lebat.  Aku mulai membayangkan lagi, seandainya di sana tertulis nama Amel dan Restu.  Dunia pasti akan tertawa melihat kehebatan Restu.
            “Harus bisa dong!!!”  Restu tertawa kecil menanggapi kata-kataku.  Dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya.  “Lihat, Mel, ada pelangi!”  Aku memandang ke atas bukit impian Restu.  Pelangi membiaskan tujuh warnanya bak mahkota yang menghiasi kepala bukit.  Mungkin tujuh bidadari sedang ingin mandi bersama ombak di pantai.
            “Indah banget ya, Res!  Kapan lagi ya, kita bisa ngeliat pelangi lagi kaya gini?  8 tahun lagi  ya, Res?!  Soalnya, katanya pelangi itu cuman muncul setiap 8 tahun sekali.”  Aku terkesima menyaksikan keajaiban Tuhan yang satu ini.
            “Kata siapa?  Enggak kok, tahun depan kita pasti juga bisa lihat pelangi lagi kaya gini.”  Restu meyakinkanku.
            “Hah??  Beneran?  Berarti tahun depan kita harus lihat lagi dong, Res.  Kamu mau kan, nemenin aku lihat pelangi lagi?”  Restu mengangguk dan tersenyum.  Memelukku erat seperti gitarnya.
            “Res, bentar lagi kan aku lulus, aku udah mutusin, setelah lulus nanti, aku mau ke Bandung.”  Restu nampak terkejut dengan keputusanku.  Dia tak menjawab apa-apa.
            “Aku gak mau kehilangan kamu, Res.  Aku sayang banget sama kamu.  Orang tuaku pengennya aku nyelesaiin sekolah dulu, baru mikirin pacaran.  Siapa tau kalo aku nurutin keinginan mereka untuk kuliah di Bandung, mereka akan luluh hatinya dan merestui hubungan kita.  Selain kuliah, aku juga pengen nyoba-nyoba mengembangkan bakat aku.  Kamu tau kan, Res?  Sama seperti kamu yang pengen jadi seorang musisi, aku juga pengen banget mewujudkan impian aku untuk menjadi seorang pengarang.  Aku pengen punya novel sendiri, karya-karyaku bisa dinikmati orang lain di seluruh dunia, aku pengen bisa menghasilkan sesuatu yang bisa bikin orang tuaku bangga.  Selama ini aku sudah terlalu banyak nyusahin mereka, apalagi soal kita.  Udah terlalu banyak membuat mereka terbebani.  Aku pengen membuat mereka bangga, kalo selama ini mereka gak sia-sia dalam mendidik aku, gak cuman bisa nyusahin mereka.  Nanti kalo aku udah jadi seorang pengarang terkenal, aku bakal bikin film yang buagus banget, dan kamu...bisa ngisi soundtrack di film aku.  Gimana?  Kerja sama yang menguntungkan kan?”  Aku dan Restu tertawa kecil.  Ia membelai rambutku dengan penuh keharuan.  Sejenak ia terdiam , dan memandangiku dengan tatapan menyedihkan.
            “Gimana kalo orang tua kamu tetap gak menyetujui hubungan kita?”  Pertanyaan itu membuat jantungku seakan berhenti berdenyut.  Sedikitpun aku tak ingin membayangkan hal itu terjadi.  Aku mencoba menata perasaanku, menenangkan kegundahan hati Restu.
            “Kita kan belum coba, Res.  Kamu tau gak?  Seberapa kerasnya karang besar yang ada di depan kita itu?  Tidak akan hancur dengan seketika cuman dengan sekali deburan ombak.  Tapi waktu, Res.  Waktu yang bisa menghancurkannya.  Ombak hanya perlu menunggu waktu itu tiba, tapi juga tak pernah berhenti menghantamnya.  Lama kelamaan, karang itu akan rapuh, dan hancur dengan sendirinya. Begitu pula dengan hati manusia yang gak terbuat dari batu.  Aku yakin, segumpal daging yang mengeras itu, suatu saat akan lunak juga.  Cuman butuh kesabaran, sampai waktu yang kita impikan tiba.  Kita gak boleh menyerah, Res.  Kita harus berusaha sekuat mungkin,dan gak boleh berhenti, sampai kita mendapatkannya.” 
            Restu menatapku begitu dalam.  Dia sepertinya tak ingin merelakan aku pergi.  Hatiku sakit melihat tatapannya yang begitu menyedihkan.  Melihat nasib kami yang terombang-ambing seperti ombak di depan kami.  Aku menyesal telah membuat keputusan seburuk ini.
            “Kalo aku pulang nanti, kita kesini lagi.  Lihat pelangi kaya sekarang.  Kamu mau kan, Res?  Nunggu aku sampai pulang?”  Restu menarikku ke dalam pelukannya.  Setitik air mata ku urai menyatu dengan pasir-pasir di pantai.  Aku bahkan rela, saat itu juga ombak membawaku dan Restu lari bersamanya.
***
            Setahun sejak aku dan Restu berjanji untuk melihat pelangi di atas bukit impian, kini aku kembali dari perantauanku untuk menepati janji itu.  Masih bisa ku rasakan betapa kerasnya aku berjuang sendirian di tempat yang jauh dari orang-orang yang aku cintai.  Demi mewujudkan impianku menjadi seorang pengarang.  Demi mendapat secuil restu dari orang tuaku.  Dan demi seorang Restu yang selalu menjadi semangat dalam hari-hariku tanpanya.
            Kupikir, sekarang dunia akan memihakku dan telah lupa pada keinginannya untuk memisahkan aku dengan Restu.  Namun dunia terlalu cepat untuk membuat peraturan-peraturan yang lebih rumit dan sulit dilakukan.  Aku kalah dalam persaingan ini.  Aku bahkan akan berdiri di barisan paling depan jika ada orang-orang yang menamakan mereka kelompok pembenci dunia.
            Aku tersungkur di atas tanah makam itu.  Masih bisa ku cium wanginya tanah yang baru kemarin sore digali.  Sementara aku merindukan sosok yang sedang tertidur berselimut tanah itu.  Aku masih membutuhkan kedua mata yang sudah tertutup itu untuk kembali terbuka dan menemaniku melihat pelangi di atas bukit impian.  Aku berharap masih bisa mendengar petikan dawai gitarnya dari dalam sana.  Sungguh aku sangat merindukan sosok Restu ku yang sangat ku cintai.
            Dia bahkan tak memberiku kesempatan melihat wajahnya untuk yang terakhir kali.  Dia membiarkan aku pulang dengan menelan kepahitan ini dan menyambutku dengan duka yang begitu mendalam.  Malam yang lalu aku bahkan masih bisa mendengarkan suaranya.  Masih dapat ku baca pesan-pesan yang dia kirimkan padaku sebelum akhirnya kecelakaan itu merenggutnya dariku.  Satu pesan terakhir yang aku terima darinya sebelum dia pergi.
            “Hari-hariku hilang...dan aku berduka saat kau tak di sampingku... Ku ingin saat ini kau ada di sini, dan akan ku buktikan, kalau aku sayang   banget sama kamu...”
            “Kamu jahat, Res!  Kamu bilang gak akan ninggalin aku sendiri.  Kamu bilang akan nemenin aku lihat pelangi di atas bukit.  Kamu bohong, Res.  Kamu bohong!  Kenapa kamu gak bisa nunggu aku sebentar aja?!  Lalu sekarang?  Siapa yang akan mengukir nama kita di dinding bukit itu?  Aku gak sehebat kamu, Res. Sekarang, pelangi itu pasti lagi nunggu kita.   Aku mesti bilang apa kalau aku ke sana tanpa kamu?  Kamu jahat, Res!  Kamu tega membiarkan aku berdiri sendiri di sana memandangi bukit yang di atasnya gak ada kamu lagi bermain gitar.  Apa kamu lupa kalau kamu pengen jadi musisi ternama?  Kamu sendiri kan yang bilang, pasti seru bisa main gitar di atas bukit itu, di tepi pantai.  Apa kamu lupa dengan semua itu, Res?  Apa kamu lupa dengan perjanjian kerja sama kita?  Apa kamu gak pengen bikin video klip di atas bukit itu.  Ayolah, Res!  Kenapa secepat ini kamu ninggalin aku?  Kenapa secepat ini kamu menyerah?  Aku udah bilang kita gak boleh berhenti berjuang bersama-sama.  Kita harusnya kuat.  Kita buktiin kepada mereka kalau cinta kita kuat, bukan cuma sekedar mainan.  Gak ada yang salah dengan hubungan kita.  Bukan suatu dosa kalau kita saling mencintai.  Restu!  Bangun, Res!  Aku berjuang sendirian di sana cuma demi kamu.  Sekarang, itu semua gak ada artinya.  Gak ada sama sekali.”
            Aku tumpahkan semua air mataku.  Mengerang sekeras mungkin berharap penderitaanku berkurang.  Aku berharap ini hanyalah sebuah mimpi buruk.  Tapi aku sadar, Tuhan sengaja mengirimkan Restu untukku agar aku bisa bangkit untuk mewujudkan impianku, dan segala mimpi-mimpiku bersama Restu.  Bagaimana aku dan Restu tetap kuat dalam sebuah genggaman cinta.  Bagaimana aku dan Restu harus berjuang untuk mempertahankannya, agar dunia salut dengan pengorbananku dan Restu.  Namun takdir berkata lain, hanya sampai di sinilah perjuangan seorang Restu.  Dan aku, harus tetap melanjutkan hidupku.  Berjuang kembali menyongsong mimpi-mimpi yang belum ku capai.
            Ku kecup lembut batu nisan yang bertuliskan nama Restu Saputra.  Di sampingnya ku letakkan sebuah buku yang berjudul “Pelangi di Bukit Impian” karya Amelia Safitri.
٭٭٭٭

Tidak ada komentar:

Posting Komentar