PELANGI
DI BUKIT IMPIAN
Setangkai mawar dengan pita merah
jambu yang menghiasinya. Sayang, daunnya
yang dulu hijau kini telah mengering.
Mahkotanya yang semula berwarna merah, cantik, nan elok, kini telah layu
dan berguguran. Setangkai mawar yang lebih
pantas ku lempar ke dalam tong sampah itu, justru membuatku tertarik untuk
selalu memandanginya di setiap malam sebelum aku bermimpi panjang. Setangkai mawar yang telah menjadi bagian
dari malam-malamku. Yang tak kan
berbicara apa-apa meski tahu segala rahasiaku.
Yang tak kan bercerita pada siapa-siapa meski lebih sering melihatku
menangis daripada tertawa.
14 Februari yang lalu, untuk pertama
kalinya mawar ini jatuh ke tanganku.
Bersama sebungkus coklat yang keesokan paginya meleleh di dalam perut
teman-temanku. Aku ingat. Malam itu aku justru menertawainya ketika dia
memberikan kejutan kecil itu untukku di hari Vallentine.
Dia bukanlah tipe cowok yang
romantis atau suka memberikan kejutan.
Dengan wajah malu-malu dia menyodorkan setangkai mawar yang sudah dihias
dengan pita merah jambu, juga sebungkus coklat dengan hiasan pita kecil
berwarna merah. “Met Vallentine,
ya...” Hanya kata itu yang ku dengar
darinya.
Aku tak langsung menerimanya. Aku hanya memandangi wajahnya yang tersipu
malu dan kemerah-merahan, sikapnya yang mulai serba salah. Dia seperti anak TK yang ketahuan gurunya
pipis di celana. Tak lama kemudian
tawaku meledak. Bagiku ini lucu
sekali. Seumur hidup aku belum pernah
melihatnya melakukan adegan seromantis ini.
Tapi dalam hati aku sangat bahagia.
Karena diberi kesempatan untuk melihatnya, bahkan merasakannya
sendiri. Aku terdiam, terenyuh oleh
kebesaran hatinya. Aku memeluknya erat
sekali dan berpikir tak akan melepaskannya.
“Sorry...” Aku menyesali hal
bodoh yang baru saja ku lakukan padanya.
Dia mengusap kepalaku dan mengecup keningku dengan lembut. Lirih aku mendengar suaranya yang begitu
menyentuh hatiku. “Aku sayang banget
sama kamu...”
Aku hanya tersenyum kecil ketika
mengingat peristiwa itu. Sekilas aku melirik
ke dalam figura di depanku yang telah terpampang fotonya. Aku mengambilnya dan mengecup gambarnya
dengan lembut. Sampai tiba-tiba suara
ketukan pintu mengejutkanku. Tok! Tok!
Tok!
Aku buru-buru menyimpan foto dan
mawar layu itu, dan memasukkannya ke dalam laci meja belajarku. Ku buka-buka halaman buku yang sejak tadi
tergeletak di atas meja belajarku dan berpura-pura sibuk membacanya.
Suara ketukan terdengar lagi. Belum sempat aku membuka mulut untuk menyuruh
masuk, sudah ku lihat ibuku berdiri di balik pintu yang kemudian masuk
menghampiriku dan duduk di atas ranjang tepat dibelakangku. Aku tak memperhatikannya dan terus
berpura-pura sibuk dengan buku-bukuku itu.
Padahal tak satupun kalimat dari isi buku itu yang masuk ke otakku.
“Ini terakhir kalinya ibu
bilang. Kamu harus putus dengan Restu!” Kata-kata ibu yang begitu pelan namun
menancap di hatiku. Aku berpura-pura tak
mendengarnya dan terus menyibukkan diri dengan kepura-puraanku.
“Ibu gak mau lihat kamu masih jalan
sama Restu lagi. Ibu juga gak mau masih
ngeliat foto dan gambar Restu ada di kamar ini, atau Ibu akan membakarnya. Kalo sampai Ibu lihat atau denger dari orang
lain kamu masih berhubungan dengan Restu, biar Ibu yang pergi dari rumah ini. Ibu gak akan mau ngurusin kamu lagi, sekolah
kamu, terserah kamu mau apa! Pokoknya
Ibu pengen kamu harus dan harus putus dengan Restu!! Apa sich keistimewaan Restu?! Temen cowok kamu kan banyak, cari aja yang
lain, tapi jangan Restu! Ibu gak
ngelarang kamu mau temenan sama siapa aja, tapi jangan sampai kamu pacaran sama
tetangga sendiri! Malu Mel, malu!! Apa kata tetangga yang lain?! Kita ini bukan hidup di kota besar, yang bisa
bebas mau bergaul dengan siapa aja, yang gak peduli mau diomongin
gimanapun. Kemarin waktu ibunya Restu
dateng ke rumah, itu sama aja dia udah ngelabrak Ibu sama kamu, Mel. Dia udah mempermalukan kita! Apa kamu gak malu jadi bahan omongan
tetangga-tetangga?! Tadi pagi aja Ibu
udah pada diomongin! Tapi kalo emang
kamu gak merasa malu, berarti kamu udah bener-bener gak punya rasa malu!! Dan kamu tega mempermalukan ibu kamu
sendiri. Kalo Ibu jadi kamu, Mel, udah
ibu tinggalin cowok kaya si Restu itu.
Seumur hidup baru kali ini Ibu dipermalukan seperti ini. Pokoknya ini udah terakhir kalinya Ibu bilang. Kalo kamu gak mau nurutin kata-kata Ibu, kamu
gak usah nganggep Ibu sebagai ibu kamu lagi.
Gak apa-apa, biar ibu yang pergi dari rumah ini!!”
Aku tak mengucap apapun. Kesulitan ini kadang membuatku ingin
berhenti. Ku tak ingin merasakan
pahitnya hidup dan menikmati getirnya perjalanan ini. Namun hatiku teriris, ketika aku membayangkan
harus berpisah darinya, dan menjalani hidup tanpa kehadirannya, tanpa
senyumannya, tanpa mendengar suaranya, dan tanpa dia di sisiku. Hatiku hancur ketika dihadapkan pada dua
pilihan yang tak bisa aku pilih. Antara
cinta dan pengabdian. Dia dan orang
tuaku. Sakit ketika aku dipaksa
meninggalkan cintaku. Aku merasa ada
sebagian yang telah hilang dari diriku.
Semangatku, kekuatanku, senyumku, tawaku, dan kebahagiaanku pergi entah
kemana. Sungguh aku hanya membisu karena
tak dapat memilih apa-apa. Tapi dalam
hatiku memberontak terhadap perlakuan yang tidak adil ini. Apa salahku jika aku mencintainya!
Ku dengar derit langkah kaki ibuku
meninggalkan kamarku. Tanpa melihatnya
berlalu, aku tak kuat lagi menahan air mata yang sejak tadi ku pendam. Ku telungkupkan kepalaku di atas meja dan
menangis sejadinya. Sayang, mawar itu
tak melihatnya.
***
“Lihat karang itu, Mel! Suatu saat kalo aku jadi musisi, aku pengen buat
video klip di atas karang itu. Pasti
seru! Kalo aku bisa main gitar di
atasnya!” Aku hanya tersenyum. Tapi aku bangga sekali karena Restu mempunyai
cita-cita setinggi itu. Aku jadi
membayangkan, seandainya impian Restu jadi kenyataan. Di pantai ini, di atas bukit itu, yang
dindingnya ditumbuhi rumput hijau dan lebat, aku melihat Restu memainkan
gitarnya dan menyanyikan lagu untukku.
Sementara dari sini orang-orang akan berteriak memanggil namanya dan
menunggunya selesai bernyanyi untuk meminta tanda tangannya. Dan di sini aku akan setia berdiri menantinya
sampai dia menghampiriku dan memelukku.
Dan orang-orang akan tahu bahwa aku adalah kekasihnya.
Suara ombak yang memecah di depanku
membuyarkan lamunanku. Ku pandangi ombak
yang tak pernah letih dipermainkan angin.
Sementara aku sudah benar-benar letih menghadapi hidup ini. Baru sekarang aku tahu, bahwa ada larangan
untuk mencintai dan pacaran dengan tetangga sendiri. Entah peraturan siapa itu. Yang jelas hatiku mengutuk orang-orang yang
membuat aturan semacam itu.
Tak ku pungkiri sejak awal aku
jadian dengan Restu, 4 bulan yang lalu, banyak masalah yang harus kami
hadapi. Terutama orang tuaku dan orang
tua Restu yang tidak pernah menyetujui hubungan kami, dengan alasan yang gak
bermutu, karena kami adalah tetangga.
Aku bahkan pernah pergi dari rumah hanya karena hal ini, tapi akhirnya
aku kembali karena orang tuaku. Bahkan
Restu sendiri sudah beberapa kali pergi dari rumahnya, dan ini yang ketiga
kalinya.
Itu karena sehari yang lalu ibu
Restu datang ke rumahku, meminta agar aku segera memutuskan hubungan dengan
Restu. Karena menurut ibunya, gara-gara
aku Restu dikeluarkan dari pekerjaannya.
Karena dia sering terlambat masuk kerja, bahkan tak jarang membolos
kerja hanya demi menemaniku.Ibu Restu bahkan bilang bahwa selama ini akulah
yang selalu mengejar-ngejar Restu. Seketika
itu, ibuku yang mendengar penuturan ibu Restu, memukuliku seperti anak kecil
yang bandel karena tidak menuruti nasehat orang tua. Aku menangis dan mengerang. Berusaha menguatkan tubuhku agar aku tidak
mati saat itu. Karena aku masih ingin
melihat Restu, masih ingin melihatnya menjadi seorang musisi yang sukses dan
ternama, dan orang tuaku akan menyesal
telah menolak Restu sebagai calon menantunya.
Sekali lagi deburan ombak membawaku
melupakan kejadian itu. Dan menikmati
betapa tenangnya duduk di samping orang yang kita cintai.
“Mel, kalo nanti kita udah menikah,
bisa gak ya, aku mengukir nama kita di dinding bukit itu?” Aku menatap bukit impian Restu, yang
dindingnya dipenuhi rumput hijau dan lebat.
Aku mulai membayangkan lagi, seandainya di sana tertulis nama Amel dan
Restu. Dunia pasti akan tertawa melihat
kehebatan Restu.
“Harus bisa dong!!!” Restu tertawa kecil menanggapi
kata-kataku. Dia menarik tubuhku ke
dalam dekapannya. “Lihat, Mel, ada
pelangi!” Aku memandang ke atas bukit
impian Restu. Pelangi membiaskan tujuh
warnanya bak mahkota yang menghiasi kepala bukit. Mungkin tujuh bidadari sedang ingin mandi
bersama ombak di pantai.
“Indah banget ya, Res! Kapan lagi ya, kita bisa ngeliat pelangi lagi
kaya gini? 8 tahun lagi ya, Res?!
Soalnya, katanya pelangi itu cuman muncul setiap 8 tahun sekali.” Aku terkesima menyaksikan keajaiban Tuhan
yang satu ini.
“Kata siapa? Enggak kok, tahun depan kita pasti juga bisa
lihat pelangi lagi kaya gini.” Restu
meyakinkanku.
“Hah?? Beneran?
Berarti tahun depan kita harus lihat lagi dong, Res. Kamu mau kan, nemenin aku lihat pelangi
lagi?” Restu mengangguk dan
tersenyum. Memelukku erat seperti
gitarnya.
“Res, bentar lagi kan aku lulus, aku
udah mutusin, setelah lulus nanti, aku mau ke Bandung.” Restu nampak terkejut dengan
keputusanku. Dia tak menjawab apa-apa.
“Aku gak mau kehilangan kamu,
Res. Aku sayang banget sama kamu. Orang tuaku pengennya aku nyelesaiin sekolah
dulu, baru mikirin pacaran. Siapa tau
kalo aku nurutin keinginan mereka untuk kuliah di Bandung, mereka akan luluh
hatinya dan merestui hubungan kita.
Selain kuliah, aku juga pengen nyoba-nyoba mengembangkan bakat aku. Kamu tau kan, Res? Sama seperti kamu yang pengen jadi seorang
musisi, aku juga pengen banget mewujudkan impian aku untuk menjadi seorang
pengarang. Aku pengen punya novel
sendiri, karya-karyaku bisa dinikmati orang lain di seluruh dunia, aku pengen
bisa menghasilkan sesuatu yang bisa bikin orang tuaku bangga. Selama ini aku sudah terlalu banyak nyusahin
mereka, apalagi soal kita. Udah terlalu
banyak membuat mereka terbebani. Aku pengen
membuat mereka bangga, kalo selama ini mereka gak sia-sia dalam mendidik aku,
gak cuman bisa nyusahin mereka. Nanti
kalo aku udah jadi seorang pengarang terkenal, aku bakal bikin film yang buagus
banget, dan kamu...bisa ngisi soundtrack di film aku. Gimana?
Kerja sama yang menguntungkan kan?”
Aku dan Restu tertawa kecil. Ia
membelai rambutku dengan penuh keharuan.
Sejenak ia terdiam , dan memandangiku dengan tatapan menyedihkan.
“Gimana kalo orang tua kamu tetap
gak menyetujui hubungan kita?” Pertanyaan
itu membuat jantungku seakan berhenti berdenyut. Sedikitpun aku tak ingin membayangkan hal itu
terjadi. Aku mencoba menata perasaanku,
menenangkan kegundahan hati Restu.
“Kita kan belum coba, Res. Kamu tau gak?
Seberapa kerasnya karang besar yang ada di depan kita itu? Tidak akan hancur dengan seketika cuman
dengan sekali deburan ombak. Tapi waktu,
Res. Waktu yang bisa menghancurkannya. Ombak hanya perlu menunggu waktu itu tiba,
tapi juga tak pernah berhenti menghantamnya.
Lama kelamaan, karang itu akan rapuh, dan hancur dengan sendirinya.
Begitu pula dengan hati manusia yang gak terbuat dari batu. Aku yakin, segumpal daging yang mengeras itu,
suatu saat akan lunak juga. Cuman butuh
kesabaran, sampai waktu yang kita impikan tiba.
Kita gak boleh menyerah, Res.
Kita harus berusaha sekuat mungkin,dan gak boleh berhenti, sampai kita
mendapatkannya.”
Restu menatapku begitu dalam. Dia sepertinya tak ingin merelakan aku
pergi. Hatiku sakit melihat tatapannya
yang begitu menyedihkan. Melihat nasib
kami yang terombang-ambing seperti ombak di depan kami. Aku menyesal telah membuat keputusan seburuk
ini.
“Kalo aku pulang nanti, kita kesini
lagi. Lihat pelangi kaya sekarang. Kamu mau kan, Res? Nunggu aku sampai pulang?” Restu menarikku ke dalam pelukannya. Setitik air mata ku urai menyatu dengan
pasir-pasir di pantai. Aku bahkan rela,
saat itu juga ombak membawaku dan Restu lari bersamanya.
***
Setahun sejak aku dan Restu berjanji
untuk melihat pelangi di atas bukit impian, kini aku kembali dari perantauanku
untuk menepati janji itu. Masih bisa ku
rasakan betapa kerasnya aku berjuang sendirian di tempat yang jauh dari
orang-orang yang aku cintai. Demi mewujudkan
impianku menjadi seorang pengarang. Demi
mendapat secuil restu dari orang tuaku.
Dan demi seorang Restu yang selalu menjadi semangat dalam hari-hariku
tanpanya.
Kupikir, sekarang dunia akan
memihakku dan telah lupa pada keinginannya untuk memisahkan aku dengan
Restu. Namun dunia terlalu cepat untuk
membuat peraturan-peraturan yang lebih rumit dan sulit dilakukan. Aku kalah dalam persaingan ini. Aku bahkan akan berdiri di barisan paling
depan jika ada orang-orang yang menamakan mereka kelompok pembenci dunia.
Aku tersungkur di atas tanah makam
itu. Masih bisa ku cium wanginya tanah
yang baru kemarin sore digali. Sementara
aku merindukan sosok yang sedang tertidur berselimut tanah itu. Aku masih membutuhkan kedua mata yang sudah
tertutup itu untuk kembali terbuka dan menemaniku melihat pelangi di atas bukit
impian. Aku berharap masih bisa
mendengar petikan dawai gitarnya dari dalam sana. Sungguh aku sangat merindukan sosok Restu ku
yang sangat ku cintai.
Dia bahkan tak memberiku kesempatan
melihat wajahnya untuk yang terakhir kali.
Dia membiarkan aku pulang dengan menelan kepahitan ini dan menyambutku
dengan duka yang begitu mendalam. Malam
yang lalu aku bahkan masih bisa mendengarkan suaranya. Masih dapat ku baca pesan-pesan yang dia kirimkan
padaku sebelum akhirnya kecelakaan itu merenggutnya dariku. Satu pesan terakhir yang aku terima darinya
sebelum dia pergi.
“Hari-hariku
hilang...dan aku berduka saat kau tak di sampingku... Ku ingin saat ini kau ada di sini, dan akan ku buktikan, kalau aku
sayang banget sama kamu...”
“Kamu jahat, Res! Kamu bilang gak akan ninggalin aku
sendiri. Kamu bilang akan nemenin aku
lihat pelangi di atas bukit. Kamu
bohong, Res. Kamu bohong! Kenapa kamu gak bisa nunggu aku sebentar
aja?! Lalu sekarang? Siapa yang akan mengukir nama kita di dinding
bukit itu? Aku gak sehebat kamu, Res.
Sekarang, pelangi itu pasti lagi nunggu kita.
Aku mesti bilang apa kalau aku ke sana tanpa kamu? Kamu jahat, Res! Kamu tega membiarkan aku berdiri sendiri di
sana memandangi bukit yang di atasnya gak ada kamu lagi bermain gitar. Apa kamu lupa kalau kamu pengen jadi musisi
ternama? Kamu sendiri kan yang bilang,
pasti seru bisa main gitar di atas bukit itu, di tepi pantai. Apa kamu lupa dengan semua itu, Res? Apa kamu lupa dengan perjanjian kerja sama
kita? Apa kamu gak pengen bikin video
klip di atas bukit itu. Ayolah,
Res! Kenapa secepat ini kamu ninggalin
aku? Kenapa secepat ini kamu menyerah? Aku udah bilang kita gak boleh berhenti
berjuang bersama-sama. Kita harusnya
kuat. Kita buktiin kepada mereka kalau
cinta kita kuat, bukan cuma sekedar mainan.
Gak ada yang salah dengan hubungan kita.
Bukan suatu dosa kalau kita saling mencintai. Restu!
Bangun, Res! Aku berjuang
sendirian di sana cuma demi kamu.
Sekarang, itu semua gak ada artinya.
Gak ada sama sekali.”
Aku tumpahkan semua air mataku. Mengerang sekeras mungkin berharap
penderitaanku berkurang. Aku berharap
ini hanyalah sebuah mimpi buruk. Tapi
aku sadar, Tuhan sengaja mengirimkan Restu untukku agar aku bisa bangkit untuk
mewujudkan impianku, dan segala mimpi-mimpiku bersama Restu. Bagaimana aku dan Restu tetap kuat dalam
sebuah genggaman cinta. Bagaimana aku
dan Restu harus berjuang untuk mempertahankannya, agar dunia salut dengan pengorbananku
dan Restu. Namun takdir berkata lain,
hanya sampai di sinilah perjuangan seorang Restu. Dan aku, harus tetap melanjutkan
hidupku. Berjuang kembali menyongsong
mimpi-mimpi yang belum ku capai.
Ku kecup lembut batu nisan yang bertuliskan nama Restu Saputra. Di sampingnya ku letakkan sebuah buku yang
berjudul “Pelangi di Bukit Impian” karya Amelia Safitri.
٭٭٭٭
Tidak ada komentar:
Posting Komentar