“IBU”
“Kesederhanaan
bukan menjadi penghalang bagi kita untuk meraih apa yang kita inginkan. Selagi
kita memiliki keyakinan yang kuat untuk mendapatkannya pasti hal tersebut akan
dengan mudah kita dapatkan”
Satu kalimat yang akan selalu tertanam di
dalam benak dan pikiranku. Seorang wanita paruh baya dengan garis keriput dikeningnya
yang selalu memberikanku nasihat, tapi dengan bodohnya tak pernah aku hiraukan.
Sampai akhirnya aku tersadar...
Malam ini malam
yang diselimuti kabut kesedihan, rasa bersalah kian menghantuiku, bekas luka
yang amat dalam kian menganga memenuhi rongga dadaku. Aku merasakan sesak dan
sakit yang begitu menusuk. Penyesalan terus merajalela menguasai pikiranku.
“KENAPA HARUS
AKU!!” hanya kalimat itu yang dapat terucap dari mulutku ketika aku melihat
bayanganku di cermin.
Malam ini adalah
malam ke lima ibuku dirawat di Rumah Sakit. Sudah lima hari ini ibu tidak
sadarkan diri akibat penyakit jantung yang di deritanya dan itu semua salahku.
Sungguh begitu menyesalnya aku setiap melihat ibuku yang terbaring lemah tak
berdaya di ranjang Rumah Sakit dengan selang infus.
Aku memang
benar-benar anak durhaka yang tidak tau bagimana cara berbalas budi. Aku anak
yang egois, apa yang aku mau harus ada nggak peduli apakah keinginanku itu
membuat orang lain susah. Aku selalu menginginkan yang lebih, bahkan
keinginanku itu sering membuat ibuku menjadi sedih dan lagi-lagi dengan
bodohnya aku tidak menghiraukannya.
Ibuku adalah
tipe wanita yang tangguh, walaupun sudah lama ayah meninggal tapi ibu tetap
berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk menyekolahkanku
sampai aku menginjak kelas 2 SMA. Aku anak tunggal dari keluarga sederhana yang
seharusnya memang bisa dibilang bahagia. Tapi baru akhir-akhir ini aku sadar
akan kebahagiaan itu, karena selama ini aku selalu merasa kurang dan kurang
sampai aku tidak merasakan kebahagiaan yang seharusnya sudah bisa dibilang
bahagia, padahal jauh sebelum ini aku termasuk anak yang harusnya merasa
bahagia dengan ibu yang selalu menyayangiku walaupun aku selalu membuatknya
susah, tapi semuanya selalu berbanding terbalik dalam pikiranku.
Dan kesadaran
ini baru muncul ketika aku merasakan kesepian yang teramat dalam tanpa ibu yang
menemaniku dirumah. Seharusnya malam ini aku bersama tante menjaga ibu dirumah
sakit, tapi om melarangku dan memintaku untuk beristirahat dirumah.
***
Jam menunjukan
pukul 1 pagi, entah ada angin apa aku terbangun dari tidurku. Pikiranku kembali
ke ibu. Ingin rasanya aku berlari menuju Rumah Sakit dan menemani ibu di sana,
tapi alam ternyata tidak mendukungku, diluar hujan deras turun dengan lebat dan
diiringi suara gemuruh petir. Kesendirian kembali menyelimuti. Perasaanku
tiba-tiba jadi buruk, akhirnya aku putuskan untuk meneguk segelas air putih
yang sudah tersedia di meja samping tempat tidurku. Dan tiba-tiba ponselku
berdering......
“Iya om?” ucapku
ketika tau om Arif yang menelponku.
“Nge,” tampak
suara om Arif yang begitu lemah di sebrang sana. Perasaan buruk kian
menyelimutiku.
“Ada apa om? Ada
apa sama ibu?” cecarku.
“Ibu ka..mu..”
suara om Arif semain melemah hingga aku harus lebih menempelkan rapat-rapat
ponselku ketelinga.
“Apa om? Ibu
kenapa?” tanyaku tidak sabar.
“Kamu siap-siap.
Om jemput kamu sekarang di rumah,”
Klik. Komunikasi
terputus, tanpa banyak berpikir aku segera berganti pakaian dan membiarkan
ponselku tergeletak begitu saja di kasur. Pikiranku terus tertuju pada ibu. Air
mata mulai menggenangi kelopak mataku. Rasa sesak dan sakit kembali menyusupi
rongga dadaku.
Tak berapa lama
suara mobil om Arif terdengar, aku segera turun untuk membukakan pintu dan
mengambil payung karena hujan diluar masih cukup deras.
“Ibu kenapa om?”
tanyaku ketika melihat om Arif turun dari mobil.
“Sekarang kamu
masuk dulu ke mobil, nanti sampai di rumah sakit....”
“Nggak, aku mau
denger penjelasan dari om sekarang. Sebenarnya ada apa?” tanyaku semakin
menggebu-gebu. Tapi om Arif tetap tidak menjawabnya, ia menuntunku untuk masuk
kedalam mobilnya.
***
Sesampainya di
rumah sakit aura buruk kian tebal penyelimuti pikiranku. Jantungku berdebar
kian kencang. Pikiranku terus tertuju pada ibu. Seluruh tubuhku melemas ketika
aku sampai di pintu masuk ruangan ibu dirawat.
Perlahan pintu
ku buka. Seluruh pasang mata melihat kearahku, aku baru sadar ternyata banyak
saudaraku yang datang untuk menjenguk ibu. Tapi kenapa menjunguk pagi-pagi
begini? Kenapa wajah mereka tampak sedih? Ah tidak, kubuang jauh-jauh pikiran
buruk itu.
Pelan-pelan aku
berjalan menuju ranjang tempat ibuku dan akhirnya..
“Yang sabar ya,
Nge!” tante Lusi tiba-tiba merengkuhku ketika tinggal beberapa langkah lagi aku
sampai di ranjang ibu. Seketika tubuhku menegang, pikiran buruk itu kembali
muncul, air mataku kembali menggenang di kelopak mata. Kutarik nafas
dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku tapi tidak berhasil. Butiran bening itu
berhasil meluncur melewati pipiku dan rasa sakit kembali menghunjam dadaku.
“IBUUUUUUUUUUU...,”
aku berlari dengan sisa tenagaku untuk mencapai ranjang ibuku dan memeluknya
erat.
“Ibuu jangan
tinggalin Inge, ibu bangun ibu. Ibu nggak boleh pergi, Inge sayang sama Ibu.
Ibu maafin Inge ibu bangun,” kuguncang-guncangkan pundak ibuku tapi ibu tetap tidak
bangun.
“Ibu bangun,
jangan tinggalin Inge,” air bening itu terus mengalir menyusupi kelopak mataku.
“Ibu jahat, kenapa ibu tinggalin Inge, ibu nggak kasian sama Inge? Ibu bilang
ibu sayang sama Inge, tapi mana. Ibu harus bangun, kalo ibu sayang sama Inge
ibu harus bangun.”
Tante Lusi
merengkuh dan mengusap-usap pundakku sambil menahan tangis. “Sudah Inge yang
sabar,”
“Nggak! Ibu cuma
pura-pura tante. Ibu cuma pura-pura tidur,” saat itu aku benar-benar kalap.
Seluruh emosiku pecah dan keluar lewat teriakan dan tangisan.
“Dok, ibu nggak
papa kan? Ibu cuma pura-pura kan? Iya kan?” kutarik-tarik baju dokter yang
sedari tadi hanya memandangiku dengan rasa iba.
“Maaf mbak, tapi
kami sudah berusaha semaksimal mungkin,”
“NGGAAKKK!
Kalian semua bohong. Ini pasti cuma sandiwara,” elakku.
“Inge, dengerin
tante. Inge nggak boleh kayak gini, Inge harus sabar ini kehedak Tuhan,” ucap
Tante Lusi.
“Kehendak Tuhan?
Kenapa harus Inge? Kenapa harus Inge yang ngalamin semua ini? Kenapa
orang-orang yang Inge sayangi harus lebih dulu pergi ninggalin Inge?!”
teriakku. Semua orang yang ada di ruangan itu tidak ada yang berani menjawab.
“Maaf mbak kami
harus membawa ibu anda ke..”
“Nggak! Nggak
boleh!” kudorong seorang suster yang hendak membawa ibuku pergi. “Ibu masih
hidup.”
“Ibu bangun,
Inge janji kalo ibu bangun Inge nggak akan bandel lagi. Inge bakalan turutin
semua yang Ibu mau, kasih Inge kesempatan sekali lagi buat bayar semua
kesalahan Inge ke Ibu, Inge pengen bahagiain ibu. Inge sayang sama ibu, kalo
ibu pergi siapa yang bakalan ngejagain Inge. Siapa yang bakalan dengerin semua
curhatan Inge. Ibu bangunnn..” kupeluk erat tubuh ibuku sambil menangis
sekencang-kencangnya dalam pelukan. Dan setelah beberapa saat...
“Dok, Ibu Erna
menangis,” ucap suster yang tadi hendak membawa ibu pergi. Kulepaskan pelukanku
dan ternyata benar, dari mata ibu mengalir sebutir air mata. Sepersekian detik
nafasku tertahan melihat kejadian ini, antara takjub dan bahagia. Dokter dan
beberapa suster yang ada di ruangan itu bergerak cepat untuk memeriksa keadaan
ibu. Alat pendeteksi jantung dipasang kembali, dan akhirnya alat itu menunjukan
bahwa jantung ibu kembali berdetak normal.
Tante Lusi
memelukku, saudara-saudaraku merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang terlihat
jelas dari raut wajah mereka. Sementara itu tubuhku masih terasa lemas dan
akhirnya pandanganku berubah menjadi gelap dan aku tidak ingat apa-apa.
***
Sudah seminggu
sejak kepulangan ibu dari Rumah Sakit. Kini ibu tampak lebih baik dan semakin
sehat. Senyum kembali terukir indah di bibir ibuku. Aku merasakan kembali
kehangatan keluarga yang benar-benar aku rindukan. Dan kini aku akan
menjalankan janjiku untuk menjadi anak yang berbakti dan terus berjuang untuk
meraih apa yang aku inginkan tanpa memandang statusku, semuanya aku lakukan
demi ibu.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar