Senin, 23 Mei 2016

IBU



“IBU”

“Kesederhanaan bukan menjadi penghalang bagi kita untuk meraih apa yang kita inginkan. Selagi kita memiliki keyakinan yang kuat untuk mendapatkannya pasti hal tersebut akan dengan mudah kita dapatkan”
 Satu kalimat yang akan selalu tertanam di dalam benak dan pikiranku. Seorang wanita paruh baya dengan garis keriput dikeningnya yang selalu memberikanku nasihat, tapi dengan bodohnya tak pernah aku hiraukan. Sampai akhirnya aku tersadar...
Malam ini malam yang diselimuti kabut kesedihan, rasa bersalah kian menghantuiku, bekas luka yang amat dalam kian menganga memenuhi rongga dadaku. Aku merasakan sesak dan sakit yang begitu menusuk. Penyesalan terus merajalela menguasai pikiranku.
“KENAPA HARUS AKU!!” hanya kalimat itu yang dapat terucap dari mulutku ketika aku melihat bayanganku di cermin.
Malam ini adalah malam ke lima ibuku dirawat di Rumah Sakit. Sudah lima hari ini ibu tidak sadarkan diri akibat penyakit jantung yang di deritanya dan itu semua salahku. Sungguh begitu menyesalnya aku setiap melihat ibuku yang terbaring lemah tak berdaya di ranjang Rumah Sakit dengan selang infus.  
Aku memang benar-benar anak durhaka yang tidak tau bagimana cara berbalas budi. Aku anak yang egois, apa yang aku mau harus ada nggak peduli apakah keinginanku itu membuat orang lain susah. Aku selalu menginginkan yang lebih, bahkan keinginanku itu sering membuat ibuku menjadi sedih dan lagi-lagi dengan bodohnya aku tidak menghiraukannya.
Ibuku adalah tipe wanita yang tangguh, walaupun sudah lama ayah meninggal tapi ibu tetap berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk menyekolahkanku sampai aku menginjak kelas 2 SMA. Aku anak tunggal dari keluarga sederhana yang seharusnya memang bisa dibilang bahagia. Tapi baru akhir-akhir ini aku sadar akan kebahagiaan itu, karena selama ini aku selalu merasa kurang dan kurang sampai aku tidak merasakan kebahagiaan yang seharusnya sudah bisa dibilang bahagia, padahal jauh sebelum ini aku termasuk anak yang harusnya merasa bahagia dengan ibu yang selalu menyayangiku walaupun aku selalu membuatknya susah, tapi semuanya selalu berbanding terbalik dalam pikiranku.
Dan kesadaran ini baru muncul ketika aku merasakan kesepian yang teramat dalam tanpa ibu yang menemaniku dirumah. Seharusnya malam ini aku bersama tante menjaga ibu dirumah sakit, tapi om melarangku dan memintaku untuk beristirahat dirumah.
***
Jam menunjukan pukul 1 pagi, entah ada angin apa aku terbangun dari tidurku. Pikiranku kembali ke ibu. Ingin rasanya aku berlari menuju Rumah Sakit dan menemani ibu di sana, tapi alam ternyata tidak mendukungku, diluar hujan deras turun dengan lebat dan diiringi suara gemuruh petir. Kesendirian kembali menyelimuti. Perasaanku tiba-tiba jadi buruk, akhirnya aku putuskan untuk meneguk segelas air putih yang sudah tersedia di meja samping tempat tidurku. Dan tiba-tiba ponselku berdering......
“Iya om?” ucapku ketika tau om Arif yang menelponku.
“Nge,” tampak suara om Arif yang begitu lemah di sebrang sana. Perasaan buruk kian menyelimutiku.
“Ada apa om? Ada apa sama ibu?” cecarku.
“Ibu ka..mu..” suara om Arif semain melemah hingga aku harus lebih menempelkan rapat-rapat ponselku ketelinga.
“Apa om? Ibu kenapa?” tanyaku tidak sabar.
“Kamu siap-siap. Om jemput kamu sekarang di rumah,”
Klik. Komunikasi terputus, tanpa banyak berpikir aku segera berganti pakaian dan membiarkan ponselku tergeletak begitu saja di kasur. Pikiranku terus tertuju pada ibu. Air mata mulai menggenangi kelopak mataku. Rasa sesak dan sakit kembali menyusupi rongga dadaku.
Tak berapa lama suara mobil om Arif terdengar, aku segera turun untuk membukakan pintu dan mengambil payung karena hujan diluar masih cukup deras.
“Ibu kenapa om?” tanyaku ketika melihat om Arif turun dari mobil.
“Sekarang kamu masuk dulu ke mobil, nanti sampai di rumah sakit....”
“Nggak, aku mau denger penjelasan dari om sekarang. Sebenarnya ada apa?” tanyaku semakin menggebu-gebu. Tapi om Arif tetap tidak menjawabnya, ia menuntunku untuk masuk kedalam mobilnya.
***
Sesampainya di rumah sakit aura buruk kian tebal penyelimuti pikiranku. Jantungku berdebar kian kencang. Pikiranku terus tertuju pada ibu. Seluruh tubuhku melemas ketika aku sampai di pintu masuk ruangan ibu dirawat.
Perlahan pintu ku buka. Seluruh pasang mata melihat kearahku, aku baru sadar ternyata banyak saudaraku yang datang untuk menjenguk ibu. Tapi kenapa menjunguk pagi-pagi begini? Kenapa wajah mereka tampak sedih? Ah tidak, kubuang jauh-jauh pikiran buruk itu.
Pelan-pelan aku berjalan menuju ranjang tempat ibuku dan akhirnya..
“Yang sabar ya, Nge!” tante Lusi tiba-tiba merengkuhku ketika tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di ranjang ibu. Seketika tubuhku menegang, pikiran buruk itu kembali muncul, air mataku kembali menggenang di kelopak mata. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku tapi tidak berhasil. Butiran bening itu berhasil meluncur melewati pipiku dan rasa sakit kembali menghunjam dadaku.
“IBUUUUUUUUUUU...,” aku berlari dengan sisa tenagaku untuk mencapai ranjang ibuku dan memeluknya erat.
“Ibuu jangan tinggalin Inge, ibu bangun ibu. Ibu nggak boleh pergi, Inge sayang sama Ibu. Ibu maafin Inge ibu bangun,” kuguncang-guncangkan pundak ibuku tapi ibu tetap tidak bangun.
“Ibu bangun, jangan tinggalin Inge,” air bening itu terus mengalir menyusupi kelopak mataku. “Ibu jahat, kenapa ibu tinggalin Inge, ibu nggak kasian sama Inge? Ibu bilang ibu sayang sama Inge, tapi mana. Ibu harus bangun, kalo ibu sayang sama Inge ibu harus bangun.”
Tante Lusi merengkuh dan mengusap-usap pundakku sambil menahan tangis. “Sudah Inge yang sabar,”
“Nggak! Ibu cuma pura-pura tante. Ibu cuma pura-pura tidur,” saat itu aku benar-benar kalap. Seluruh emosiku pecah dan keluar lewat teriakan dan tangisan.
“Dok, ibu nggak papa kan? Ibu cuma pura-pura kan? Iya kan?” kutarik-tarik baju dokter yang sedari tadi hanya memandangiku dengan rasa iba.
“Maaf mbak, tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin,”
“NGGAAKKK! Kalian semua bohong. Ini pasti cuma sandiwara,” elakku.
“Inge, dengerin tante. Inge nggak boleh kayak gini, Inge harus sabar ini kehedak Tuhan,” ucap Tante Lusi.
“Kehendak Tuhan? Kenapa harus Inge? Kenapa harus Inge yang ngalamin semua ini? Kenapa orang-orang yang Inge sayangi harus lebih dulu pergi ninggalin Inge?!” teriakku. Semua orang yang ada di ruangan itu tidak ada yang berani menjawab.
“Maaf mbak kami harus membawa ibu anda ke..”
“Nggak! Nggak boleh!” kudorong seorang suster yang hendak membawa ibuku pergi. “Ibu masih hidup.”
“Ibu bangun, Inge janji kalo ibu bangun Inge nggak akan bandel lagi. Inge bakalan turutin semua yang Ibu mau, kasih Inge kesempatan sekali lagi buat bayar semua kesalahan Inge ke Ibu, Inge pengen bahagiain ibu. Inge sayang sama ibu, kalo ibu pergi siapa yang bakalan ngejagain Inge. Siapa yang bakalan dengerin semua curhatan Inge. Ibu bangunnn..” kupeluk erat tubuh ibuku sambil menangis sekencang-kencangnya dalam pelukan. Dan setelah beberapa saat...
“Dok, Ibu Erna menangis,” ucap suster yang tadi hendak membawa ibu pergi. Kulepaskan pelukanku dan ternyata benar, dari mata ibu mengalir sebutir air mata. Sepersekian detik nafasku tertahan melihat kejadian ini, antara takjub dan bahagia. Dokter dan beberapa suster yang ada di ruangan itu bergerak cepat untuk memeriksa keadaan ibu. Alat pendeteksi jantung dipasang kembali, dan akhirnya alat itu menunjukan bahwa jantung ibu kembali berdetak normal.
Tante Lusi memelukku, saudara-saudaraku merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang terlihat jelas dari raut wajah mereka. Sementara itu tubuhku masih terasa lemas dan akhirnya pandanganku berubah menjadi gelap dan aku tidak ingat apa-apa.
***
Sudah seminggu sejak kepulangan ibu dari Rumah Sakit. Kini ibu tampak lebih baik dan semakin sehat. Senyum kembali terukir indah di bibir ibuku. Aku merasakan kembali kehangatan keluarga yang benar-benar aku rindukan. Dan kini aku akan menjalankan janjiku untuk menjadi anak yang berbakti dan terus berjuang untuk meraih apa yang aku inginkan tanpa memandang statusku, semuanya aku lakukan demi ibu.
  
                                                            ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar