Senin, 23 Mei 2016

Dia..Suami Adikku




Dia Suami Adikku

Hari ini aku menyaksikan sebuah fenomena yang aku sendiri pun nggak tau harus merasa senang atau sedih. Sumpah sehidup semati yang di ikrarkan suami adikku. Seharusnya sebagai seorang kakak aku turut bahagia menyaksikan pernikahan adikku. Tapi entah kenapa ketika aku berusaha untuk turut bahagia pada saat itu juga kemarahan dan kecemburuan di hatiku semakin bergejolak. Air mataku meleleh membanjiri pipi, tapi aku sendiri tak tau harus menganggap air mata itu sebagai air mata kebahagiaan atau air mata duka.   
Semua berawal ketika adikku dan temannya pergi malam minggu. Awalnya Veby menolak, tapi paksaan teman-temannya mampu membuat Veby luluh dan mengikuti ajakan teman-temannya. Mereka hendak merayakan kelulusan SMP. Anehnya Veby tidak bilang kepada ku kalau dia akan pergi kemana, padahal setiap Veby akan pergi dengan teman-temannya ia selalu bilang padaku.
Malam hingga pagi menjelang Veby belum pulang ke rumah. Mama dan papa cemas nyariin Veby, Hp nya nggak aktif, dan nggak biasanya Veby seperti ini. Pagi harinya Veby pulang dengan raut wajah murung dan lesu. Mama begitu panik dan langsung memeluk Veby, tapi lain pada papa yang begitu marah pada Veby karena Veby pulang pagi. Tanpa mendengar penjelasan dari Veby, papa langsung mendaratkan tangannya dengan keras ke pipi kiri Veby. Isak tangis Veby keluar bersama jeritan mama.
PLAAKKK
“Kamu ini anak kurang ajar, kenapa baru pulang? Mau jadi apa kamu?” tanya papa dengan kemarahan yang begitu memuncak.
“Veby tadi malem nginep pa di rumah temen!” jelas Veby sambil memegang pipinya.
“Kamu kan bisa izin dulu sama papa atau mama! HP kamu kemana? Kenapa tidak aktif?” tanya papa semakin marah.
“HP Veby lowbath, Pah!”
“Alasan ! Papa malu sama tetangga, punya anak perempuan pergi malam pulang pagi kayak kamu!”
“Pa baru sekali  ini Veby pulang pagi. Kenapa sih papa nggak kayak papanya temen-temen Veby yang ngebolehin anaknya pergi sampek larut malam?” ucap Veby dengan isak tangis.
“Kamu ini anak perempuan. Mana pantas keluar malam dan pulang pagi! Mau belajar jadi PSK? Iya?” tanya papa tanpa meredakan kemarahannya.
“Pa!” ucapku kaget mendengar perkataan papa.
“Maaf pa. Papa salah kalau nilai Veby kayak gitu. Dan  kalau papa emang malu punya anak kayak Veby, mending papa cari anak baru lagi, dan buang Veby jauh-jauh!” ucap Veby berlinang air mata sambil lari menuju kamarnya.
“Veby ! papa belum selesai bicara !” bentak papa.
“Pa! papa nggak seharusnya ngomong gitu ke Veby! Kasihan dia!” bela mama.
“Mama ini selalu membela Veby! Sudah jelas-jelas dia salah! Ini semua salah mama!” ucap papa sembari bergegas menuju mobil dan melesat pergi.
“Udah ma. Biar Veny yang bicara sama Veby!” ucapku berusaha menenangkan mama.
Aku langsung bergegas menuju kamar Veby, kudengar isak tangis Veby dari luar kamar. Aku langsung masuk ke kamar Veby yang tidak terkunci tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Veby, kakak tau gimana perasaan kamu!” ucapku berusaha menenangkan Veby.
“Kenapa sih semua orang di sini selalu ngelarang Veby? Veby nggak boleh ini lah, nggak boleh itu. Veby capek kak! Veby pengen kayak temen-temen Veby yang lain!” protes Veby sambil duduk di meja rias.
“Veby kamu nggak boleh bilang gitu. Mama sama papa ngelakuin itu semua karena mereka sayang sama kamu!”
“Sayang dari mana? Emang dari dulu kan Veby selalu dilarang buat ngelakuin semua yang Veby suka! Kak Veby ini udah besar, Veby bukan anak kecil lagi!” umpatnya.
“Iya, Veb! Kakak tau dan kakak juga ngerti ! tapi kakak yakin semua yang dilakuin mama sama papa itu demi kebaikan kamu juga!” jelasku.
“Kebaikan? Mana buktinya? Kenapa sih kakak selalu belain mama sama papa?” tembak Veby tajam dan ketus.
“Veb, bukan gitu! Kenapa sih kamu jadi keras kepala kayak gini? Apa ini semua gara-gara Rangga?”
“Cukup kak! ini semua nggak ada sangkut pautnya sama Rangga! Kakak ini sama aja ya kayak mama dan papa yang suka jelekin Rangga! Emang kenapa kalau Veby punya pacar kayak Rangga?” tanyanya.
“Ya kamu sendiri bisa liat kan gimana Rangga! Rangga itu mantan pengguna narkoba! Ya jelas lah kalau mama sama papa ngelarang kamu buat pacaran sama Rangga!”
“Tapi Rangga itu cuma mantan pengguna kak! dan dia nggak makek barang haram itu lagi kok! Veby tulus sayang sama Rangga. Dan Veby juga tau pasti kok siapa Rangga! Dan asal kakak tau kalau Rangga itu lebih baik daripada pacar kakak!” bela Veby sambil mendekat kearah ku.
“Tapi Veb…,”
“Udah lah kak. Kalau kakak kesini cuma mau bahas masalah Veby sama Rangga mendingan kakak keluar aja dari kamar aku!” ucapnya ketus.
“Oke kakak nggak bakalan bahas masalah itu lagi! Sekarang kakak tanya kemana aja kamu semalam?” tanyaku mengganti topik pembicaraan.
“Di rumah temen!” jawabnya singkat. Aku langsung terkejut ketika mencium bau nafas Veby.
“Veby jawab yang jujur! Semalam kamu kemana?” tanyaku terus mendesak Veby.
“Oke Veby akuin. Semalam Veby habis dari diskotik sama temen-temen Veby! Kenapa? Kakak mau laporin masalah ini ke mama sama papa? Oh silahkan, biar sekalian aja Veby diusir dari rumah ini dan Veby bisa bebas nikmatin hidup Veby!” jelasnya enteng.
Dengan ringannya tanganku tiba-tiba mendarat di pipi Veby dengan cukup keras.
PLAKKKKK !!
“Siapa yang ngajarin kamu buat pergi ke diskotik?” tanyaku marah. Veby cuma terdiam dan nggak berani buat jawab pertanyaanku.
“Apa aja yang kamu lakuin disana ? kamu minum?” tanyaku ketus. Dan Veby menganggukan kepalanya perlahan.
“Veby…Veby.. ! gimana kalau mama sama papa sampek tau masalah ini?”
“Ya kakak nggak usah kasih tau ke mereka! Tapi kalau kakak pengen liat aku diusir sama mereka ya udah bilang aja kemereka!” tantang Veby.
“Terus apalagi yang kamu lakuin disana?”
“Veby nggak ngelakuin apa-apa kok! Cuma minum doang! Itupun sedikit!”
“Tapi kamu taukan walaupun sedikit tapi haram!”
“Iya kak Veby tau. Veby minta maaf deh, sekarang terserah kakak. Kalau kakak pengen liat Veby diusir silahkan bilang masalah ini ke mama dan papa. Tapi kalau kakak masih sayang dan nggak mau ngeliat Veby diusir tolong kakak jangan bilang ke mama atau papa!” ucap Veby.
“Kakak bingung sama jalan pikir kamu!” ucapku sembari berjalan meninggalkan Veby.
***
Aku berangkat kekampus dan seperti biasa Rio menjemputku. Rio adalah kekasihku, dia baik, ramah, dan tampan. Tapi anehnya akhir-akhir ini setiap Rio kerumahku pasti Veby merasa ketakutan dan bersembunyi. Padahal biasanya setiap Rio ke rumah pasti Veby selalu bercandaan sama Rio.
Tiga bulan berlalu, mama sama papa udah maafin kesalahan Veby. Tapi sampek sekarang mama sama papa nggak tau masalah Veby. Dan ketika kami sedang makan malam bersama.
“Huekk !”
“Veby, kamu kenapa? Perut kamu sakit?” tanyaku yang melihat Veby muntah-muntah.
“Nggak tau ni kak. Huekk !!” ucap Veby sambil lari ke kamar mandi. Mama langsung panik dan menyusul Veby, begitu juga papa dan aku.
“Kamu kenapa Veb?” tanya mama.
“Nggak tau ni ma! Perut Veby tiba-tiba mual!” ucap Veby.
“Ya sudah kamu istirahat di kamar aja. Mungkin kamu masuk angin!” ucap mama.
“Ven, tolong telephone dokter !” ucap papa kepadaku.
“Nggak usah!” cegah Veby denagn raut wajah ketakutan.
“Kenapa?” tanya papa yang curiga dengan sikap Veby. Tapi Veby hanya menggelengkan kepala. Aku langsung menelephone dokter yang sudah menjadi langganan keluargaku.
Tak lama kemudian dokter datang dan langsung memeriksa keadaan Veby. Sepuluh menit aku, mama dan papa menunggu di luar kamar Veby. Akhirnya dokter itu keluar dengan raut wajah bahagia.
“Bagaimana dok keadaan Putri saya?” tanya mama.
“Putri anda baik-baik saja. Itu sudah wajar dialami oleh semua wanita hamil!” jelas dokter itu.
“Hamil ?” tanyaku mama dan papa bersamaan.
“Iya, Veby sedang mengandung 2 bulan. Selamat ya sebentar lagi ibu akan punya cucu! Kalau begitu saya permisi dulu, ini resep yang harus di tebus!” ucap dokter itu sambil memberikan secarik kertas dan langsung pergi.
Papa kelihatan marah banget. Dan mama cuma bisa menangis. Papa bergegas masuk ke kamar bersama segumpal kemarah. Tampak Veby dengan raut wajah ketakutan, dan menggenggam erat gulingnya.
“VEBY!” bentak papa marah sambil menggeret Veby hingga jatuh dari kasur dan gulingnya terpental jauh.
“Maafin Veby pa! Veby nggak sengaja!” ucap Veby sambil bersujud di kaki papa. Papa langsung menghentakan kakinya yang di pegang Veby hingga Veby jatuh terpental.
“Udah pa. kasian Veby! Ini semua pasti cuma kecelakaan!” ucap mama ikut memohon.
“Kecelakaan mama bilang? Ini semua gara-gara mama yang terlalu memanjakan Veby!” ucap papa ke mama.
“Siapa yang bikin kamu kayak gini?” tanya papa sambil menjambak rambut Veby. Tapi Veby nggak bisa ngomong apa-apa, dia hanya menangis dan merasakan kesakitan.
“Udah pa. Nggak perlu pakek kekerasan kan tanyanya!” ucapku berusaha melepaskan jambakan papa ke Veby.
“Anak kurang ajar kayak gini nggak bisa pakek cara baik-baik! Minggir!” ucap papa sambil mendorongku dan hendak memukul Veby. Tapi pukulan papa mendarat di pipi mama, karena mama melindungi Veby.
“Udah pa. Nggak sepenuhnya Veby salah!” bela mama.
“Ass! Mama ini selalu saja belain Veby!” ucap papa sambil pergi meninggalkan kamar Veby begitu juga mama.
“Veby jawab kakak! Siapa yang bikin kamu kayak gini?” tanyaku. Tapi Veby cuma menggelengkan kepala.
“Jawab Veby! Kamu nggak usah takut sama kakak!” paksa ku.
“Kak Rio!”
“Apa?”
“Kak Rio kak yang ngelakuin!” tukas Veby sambil nangis kenceng. Aku merasa seketika itu jantungku seolah berhenti berdetak, pedang sakit hati menusuk hingga menghunjam dadaku.
“Kamu nggak usah bercanda deh! Nggak mungkin Rio ngelakuin itu sama kamu!”
“Tapi emang bener kak!”
“Kakak nggak percaya. Pasti Rangga pacar kamu itu kan yang ngelakuin itu sama kamu!” ucapku sambil menahan air mata. Aku berharap ucapan Veby itu hanya bohong.
“Stop kak! bukan Rangga yang ngelakuin itu! Tapi pacar kakak! Kalau kakak nggak percaya tanya aja sama kak Rio!” ucap Veby sambil berlari ke kamar mandi.
Aku bener-bener nggak nyangka Rio kekasihku tega ngelakuin itu sama adikku. Aku ingin teriak, ingin marah, tapi semua itu terasa tertahan di benakku dan tak sanggup ku keluarkan lewat kata-kata. Aku bergegas menelphone Rio dan mengajaknya bertemu di suatu tempat.
***
“Hay sayang! Udah lama nunggunya?”  tanya Rio dengan senyuman setelah ia sampai di tempat kita janjian. Tepatnya di tempat pertama kali aku bertemu Rio, dan di tempat itu tersimpan semua kenangan ku bersama Rio.
PLAAAKKKK !!!!!!
“Kok kamu nampar aku sih Ven?” tanya Rio nggak terima sambil megang pipinya.
“Aku benci sama kamu!”
“Kamu ini kenapa sih? Aku baru dateng malah kena tampar!” protes Rio.
“Kamu apain adik aku?” tangisan ku mulai pecah.
“Kamu ini kenapa sih? Aku nggak ngerti!” ucap Rio sambil memegang lenganku.
“Nggak perlu basa-basi. Aku mau tanya satu hal sama kamu. Apa bener kamu yang menghamili adik aku?” tanyaku berusaha menghentikan tangis yang kian membanjiri pipi.
“Apa? Maksudnya apa? Aku nggak ngerti!”
“Udah deh Rio nggak usah pura-pura nggak tau. Adik aku bilang sendiri kalau kamu yang hamilin dia! Apa itu bener?”
“Kenapa aku? Bisa aja kan orang lain yang hamilin adikmu!” protes Rio.
“Aku tau siapa Veby. Veby nggak pernah bohong. Dan aku lebih percaya adikku daripada kamu!” tembakku ketus. Rio nggak ngomong apa-apa, dia cuma meremas rambutnya dan ngerasa tertekan.
“Oke! Aku akuin emang iya aku ngelakuin itu sama Veby! Tapi itu semua kecelakaan !” ucap Rio.
“Jadi bener? Itu semua bukan mimpi buruk aku? Jadi ini nyata? Kamu tega Rio sama aku! Aku sayang sama kamu! tapi kenapa kamu ngelakuin hal bejat itu sama Adikku sendiri!” tak kuasa aku menahan kemarahanku. Seluruh badanku terasa lemas setelah mendengar perkataan dari Rio. Aku duduk di bawah pohon besar yang ada di sebelahku sambil mengeluarkan tangis yang  nggak kuat lagi ku bendung. Batinku merasakan sakit yang luar biasa. Rio cuma diam dan duduk didepanku.
“Maafin aku Ven! Aku ngelakuin itu nggak sadar, semuanya di bawah pengaruh minuman keras sialan itu!” bela Rio sambil memegang pundakku.
“Aku nggak tau lagi harus ngomong apa dan harus! Aku nggak nyangka, kenapa harus adik aku!”
“Maaf Ven! Lagian aku juga nggak sengaja ketemu Veby di diskotik itu!”
“Cukup! Aku muak dengerin semua pembelaan kamu yang nggak berarti itu!”
“Aku harus gimana ? aku nggak mau kehilangan kamu! Aku sayang sama kamu!” ucap Rio dengan nada memohon.
“Kalau kamu sayang sama aku nikahi adikku!” ucapku tanpa memandang wajah Rio.
“Apa? Nggak mungkin Ven. Aku sayangnya sama kamu! Aku pengen suatu hari nanti nikah sama kamu bukan sama Veby!”
“Apa yang nggak mungkin? Kamu bisa ngelakuin hal itu sama adik aku, kenapa kamu nggak bisa nikahin dia?”
“Semua ini lain Ven. Ini soal perasaan! Aku sayang sama kamu bukan sama Veby!”
“Lantas kenapa kamu nglakuin itu sama adik aku?” tanyaku ketus. Rio terdiam mendengar ucapanku.
“Udah cukup. Aku nggak mau denger alasan kamu lagi ! kalau kamu berani berbuat harus berani tanggung resikonya. Aku nggak mau liat adik aku punya anak tanpa seorang ayah. Lebih baik adik aku yang bahagia daripada aku. Lebih baik aku yang tersakiti daripada adik kesayangan aku.”
“Nggak Ven, aku nggak mau. Aku maunya sama kamu!” ucap Rio sambil memegang erat kedua tangaku.
“Nggak bisa. Aku nggak mau tau kamu harus nikahin adikku titik!” ucapku sambil pergi membawa tangis. Tapi ketika hendak meninggalkan tempat itu Rio dengan sigap menarik tanganku dan aku terjatuh di pelukannya.
Rio memelukku erat, rasanya tak tega aku harus melapaskan Rio semudah ini. Tapi aku juga nggak mau liat adikku melahirkan anaknya tanpa seorang ayah.
“Oke aku bakal nikahin Veby. Ini semua demi kamu! Tapi asal kamu tau dari lubuk hati aku yang paling dalam, aku minta maaf karena udah nyakitin perasaan kamu. Dan izinin aku buat meluk kamu untuk yang terakhir kalinya sebelum aku jadi milik orang lain!” ucap Rio tanpa melepaskan pelukannya. Tanpa sadar air mataku meleleh lagi di pelukan Rio. Dan setelah sadar aku langsung berusaha melepaskan pelukan Rio.
“Cukup! Mulai detik ini kamu bukan punyaku lagi. Makasih kamu udah pernah jadi orang terindah dalam hidup aku!” ucapku sambil menghapus air yang menutupi pipiku.
“Dan kalung ini. Aku kembaliin ke kamu, ini lebih pantes kalau Veby yang pakek! Aku pengen liat Veby makek kalung ini di pesta pernikahannya nanti!” ucapku sambil melepas kalung pemberian Rio yang selama ini menghiasi leherku.
“Tapi…,”
***
Dua hari kemudian Rio menepati janjinya untuk menikahi Veby. Rasa haru dan sakit hati bercampur menjadi satu. Aku harus merelakan Rio menjadi milik adikku. Walaupun rasanya sangat sakit. Tampak Veby dengan senyum bahagia menjalani pesta pernikahannya. Begitu juga mama dan papa, semuanya bahagia. Walaupun sebenarnya tangis benar-benar membanjiri relung hatiku. Tapi demi kebahagiaan Veby aku rela walaupun nggak gampang buat ngelupain Rio yang udah 4 tahun menjadi kekasihku.
*****


IBU



“IBU”

“Kesederhanaan bukan menjadi penghalang bagi kita untuk meraih apa yang kita inginkan. Selagi kita memiliki keyakinan yang kuat untuk mendapatkannya pasti hal tersebut akan dengan mudah kita dapatkan”
 Satu kalimat yang akan selalu tertanam di dalam benak dan pikiranku. Seorang wanita paruh baya dengan garis keriput dikeningnya yang selalu memberikanku nasihat, tapi dengan bodohnya tak pernah aku hiraukan. Sampai akhirnya aku tersadar...
Malam ini malam yang diselimuti kabut kesedihan, rasa bersalah kian menghantuiku, bekas luka yang amat dalam kian menganga memenuhi rongga dadaku. Aku merasakan sesak dan sakit yang begitu menusuk. Penyesalan terus merajalela menguasai pikiranku.
“KENAPA HARUS AKU!!” hanya kalimat itu yang dapat terucap dari mulutku ketika aku melihat bayanganku di cermin.
Malam ini adalah malam ke lima ibuku dirawat di Rumah Sakit. Sudah lima hari ini ibu tidak sadarkan diri akibat penyakit jantung yang di deritanya dan itu semua salahku. Sungguh begitu menyesalnya aku setiap melihat ibuku yang terbaring lemah tak berdaya di ranjang Rumah Sakit dengan selang infus.  
Aku memang benar-benar anak durhaka yang tidak tau bagimana cara berbalas budi. Aku anak yang egois, apa yang aku mau harus ada nggak peduli apakah keinginanku itu membuat orang lain susah. Aku selalu menginginkan yang lebih, bahkan keinginanku itu sering membuat ibuku menjadi sedih dan lagi-lagi dengan bodohnya aku tidak menghiraukannya.
Ibuku adalah tipe wanita yang tangguh, walaupun sudah lama ayah meninggal tapi ibu tetap berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk menyekolahkanku sampai aku menginjak kelas 2 SMA. Aku anak tunggal dari keluarga sederhana yang seharusnya memang bisa dibilang bahagia. Tapi baru akhir-akhir ini aku sadar akan kebahagiaan itu, karena selama ini aku selalu merasa kurang dan kurang sampai aku tidak merasakan kebahagiaan yang seharusnya sudah bisa dibilang bahagia, padahal jauh sebelum ini aku termasuk anak yang harusnya merasa bahagia dengan ibu yang selalu menyayangiku walaupun aku selalu membuatknya susah, tapi semuanya selalu berbanding terbalik dalam pikiranku.
Dan kesadaran ini baru muncul ketika aku merasakan kesepian yang teramat dalam tanpa ibu yang menemaniku dirumah. Seharusnya malam ini aku bersama tante menjaga ibu dirumah sakit, tapi om melarangku dan memintaku untuk beristirahat dirumah.
***
Jam menunjukan pukul 1 pagi, entah ada angin apa aku terbangun dari tidurku. Pikiranku kembali ke ibu. Ingin rasanya aku berlari menuju Rumah Sakit dan menemani ibu di sana, tapi alam ternyata tidak mendukungku, diluar hujan deras turun dengan lebat dan diiringi suara gemuruh petir. Kesendirian kembali menyelimuti. Perasaanku tiba-tiba jadi buruk, akhirnya aku putuskan untuk meneguk segelas air putih yang sudah tersedia di meja samping tempat tidurku. Dan tiba-tiba ponselku berdering......
“Iya om?” ucapku ketika tau om Arif yang menelponku.
“Nge,” tampak suara om Arif yang begitu lemah di sebrang sana. Perasaan buruk kian menyelimutiku.
“Ada apa om? Ada apa sama ibu?” cecarku.
“Ibu ka..mu..” suara om Arif semain melemah hingga aku harus lebih menempelkan rapat-rapat ponselku ketelinga.
“Apa om? Ibu kenapa?” tanyaku tidak sabar.
“Kamu siap-siap. Om jemput kamu sekarang di rumah,”
Klik. Komunikasi terputus, tanpa banyak berpikir aku segera berganti pakaian dan membiarkan ponselku tergeletak begitu saja di kasur. Pikiranku terus tertuju pada ibu. Air mata mulai menggenangi kelopak mataku. Rasa sesak dan sakit kembali menyusupi rongga dadaku.
Tak berapa lama suara mobil om Arif terdengar, aku segera turun untuk membukakan pintu dan mengambil payung karena hujan diluar masih cukup deras.
“Ibu kenapa om?” tanyaku ketika melihat om Arif turun dari mobil.
“Sekarang kamu masuk dulu ke mobil, nanti sampai di rumah sakit....”
“Nggak, aku mau denger penjelasan dari om sekarang. Sebenarnya ada apa?” tanyaku semakin menggebu-gebu. Tapi om Arif tetap tidak menjawabnya, ia menuntunku untuk masuk kedalam mobilnya.
***
Sesampainya di rumah sakit aura buruk kian tebal penyelimuti pikiranku. Jantungku berdebar kian kencang. Pikiranku terus tertuju pada ibu. Seluruh tubuhku melemas ketika aku sampai di pintu masuk ruangan ibu dirawat.
Perlahan pintu ku buka. Seluruh pasang mata melihat kearahku, aku baru sadar ternyata banyak saudaraku yang datang untuk menjenguk ibu. Tapi kenapa menjunguk pagi-pagi begini? Kenapa wajah mereka tampak sedih? Ah tidak, kubuang jauh-jauh pikiran buruk itu.
Pelan-pelan aku berjalan menuju ranjang tempat ibuku dan akhirnya..
“Yang sabar ya, Nge!” tante Lusi tiba-tiba merengkuhku ketika tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di ranjang ibu. Seketika tubuhku menegang, pikiran buruk itu kembali muncul, air mataku kembali menggenang di kelopak mata. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku tapi tidak berhasil. Butiran bening itu berhasil meluncur melewati pipiku dan rasa sakit kembali menghunjam dadaku.
“IBUUUUUUUUUUU...,” aku berlari dengan sisa tenagaku untuk mencapai ranjang ibuku dan memeluknya erat.
“Ibuu jangan tinggalin Inge, ibu bangun ibu. Ibu nggak boleh pergi, Inge sayang sama Ibu. Ibu maafin Inge ibu bangun,” kuguncang-guncangkan pundak ibuku tapi ibu tetap tidak bangun.
“Ibu bangun, jangan tinggalin Inge,” air bening itu terus mengalir menyusupi kelopak mataku. “Ibu jahat, kenapa ibu tinggalin Inge, ibu nggak kasian sama Inge? Ibu bilang ibu sayang sama Inge, tapi mana. Ibu harus bangun, kalo ibu sayang sama Inge ibu harus bangun.”
Tante Lusi merengkuh dan mengusap-usap pundakku sambil menahan tangis. “Sudah Inge yang sabar,”
“Nggak! Ibu cuma pura-pura tante. Ibu cuma pura-pura tidur,” saat itu aku benar-benar kalap. Seluruh emosiku pecah dan keluar lewat teriakan dan tangisan.
“Dok, ibu nggak papa kan? Ibu cuma pura-pura kan? Iya kan?” kutarik-tarik baju dokter yang sedari tadi hanya memandangiku dengan rasa iba.
“Maaf mbak, tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin,”
“NGGAAKKK! Kalian semua bohong. Ini pasti cuma sandiwara,” elakku.
“Inge, dengerin tante. Inge nggak boleh kayak gini, Inge harus sabar ini kehedak Tuhan,” ucap Tante Lusi.
“Kehendak Tuhan? Kenapa harus Inge? Kenapa harus Inge yang ngalamin semua ini? Kenapa orang-orang yang Inge sayangi harus lebih dulu pergi ninggalin Inge?!” teriakku. Semua orang yang ada di ruangan itu tidak ada yang berani menjawab.
“Maaf mbak kami harus membawa ibu anda ke..”
“Nggak! Nggak boleh!” kudorong seorang suster yang hendak membawa ibuku pergi. “Ibu masih hidup.”
“Ibu bangun, Inge janji kalo ibu bangun Inge nggak akan bandel lagi. Inge bakalan turutin semua yang Ibu mau, kasih Inge kesempatan sekali lagi buat bayar semua kesalahan Inge ke Ibu, Inge pengen bahagiain ibu. Inge sayang sama ibu, kalo ibu pergi siapa yang bakalan ngejagain Inge. Siapa yang bakalan dengerin semua curhatan Inge. Ibu bangunnn..” kupeluk erat tubuh ibuku sambil menangis sekencang-kencangnya dalam pelukan. Dan setelah beberapa saat...
“Dok, Ibu Erna menangis,” ucap suster yang tadi hendak membawa ibu pergi. Kulepaskan pelukanku dan ternyata benar, dari mata ibu mengalir sebutir air mata. Sepersekian detik nafasku tertahan melihat kejadian ini, antara takjub dan bahagia. Dokter dan beberapa suster yang ada di ruangan itu bergerak cepat untuk memeriksa keadaan ibu. Alat pendeteksi jantung dipasang kembali, dan akhirnya alat itu menunjukan bahwa jantung ibu kembali berdetak normal.
Tante Lusi memelukku, saudara-saudaraku merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang terlihat jelas dari raut wajah mereka. Sementara itu tubuhku masih terasa lemas dan akhirnya pandanganku berubah menjadi gelap dan aku tidak ingat apa-apa.
***
Sudah seminggu sejak kepulangan ibu dari Rumah Sakit. Kini ibu tampak lebih baik dan semakin sehat. Senyum kembali terukir indah di bibir ibuku. Aku merasakan kembali kehangatan keluarga yang benar-benar aku rindukan. Dan kini aku akan menjalankan janjiku untuk menjadi anak yang berbakti dan terus berjuang untuk meraih apa yang aku inginkan tanpa memandang statusku, semuanya aku lakukan demi ibu.
  
                                                            ****